Kelemahan Media Islam: Campurkan Fakta & Opini
Romeltea | Follow @romel_tea
Wartawan media tampak "tidak bisa menahan
diri" untuk beropini dalam menulis berita, juga "tidak bisa mengendalikan emosi".
"Cari Simpati, Kepala BNPT Curhat". Demikian judul berita MuslimDaily.net. Isi berita berupa pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Saud Usman yang "merasa terzalimi" terkait pemblokiran situs Islam.
"Banyak orang termasuk pejabat dan umat Islam yang menyalahkan BNPT," katanya dalam diskusi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bertajuk ‘Kontroversi Penutupan Situs Radikal: Sensor Internet, Politis atau Perlindungan Publik?’ di Jakarta, Minggu (5/4/2015).
Tak ada satu pun kata simpati yang muncul di tubuh berita (body) yang dikutip dari detik.com itu. Hanya ada di judul. Demikian juga kata "curhat" tidak ada dalam statemen Kepala BNPT ataupun sumber lain.
"Cari Simpati" dan "Curhat", dengan demikian, adalah murni opini wartawan/editor yang "dicampurkan" dalam berita tersebut. Akibatnya, "nilai jurnalistik" dalam berita tersebut berkurang. Kode etik jurnalistik, terutama "tidak boleh mencampurkan fakta dan opini", dilanggar.
Berita di atas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik yang membuat berita tersebut keluar dari kriteria karya jurnalistik. Berita tersebut lebih merupakan "propaganda", setidaknya "dinodai" dengan opini, pendapat, atau interpretasi wartawan.
Keterampilan, pengetahuan, dan kode etik jurnalistik itulah yang menjadi salah satu kelemahan Media Islam Online saat ini. Mestinya, berita itu hanya menyampaikan fakta, tanpa ditambah opini yang bertujuan menggiring opini pembaca.
Wartawan media-media Islam online selama ini tampak "tidak bisa menahan diri" untuk beropini dalam menulis berita. Wartawan media Islam online juga tampak "tidak bisa mengendalikan emosinya" dalam menulis berita.
Hal itu berpengaruh pada kualitas berita secara jurnalistik. Bercampurnya fakta dan opini, bukan saja melanggar kode etik pemberitaan, namun juga menghasilkan berita yang "kurang enak" dibaca, terutama oleh mereka yang "ghirah keislamannya" kurang.
Perhatikan judul-judul berita yang disajikan beberapa media Islam berikut ini:
Mari kita ubah dan "rasakan" perbedaannya:
Judul-judul yang sudah diedit terasa "lebih netral" dan "lebih bernilai jurnalistik" ketimbang judul-judul sebelumnya.
Selain soal pencampuran fakta dan opini, wartawan media Islam online juga tampak lemah dalam penguasaan bahasa jurnalistik. Masih banyak didapatkan berita-berita yang berisi kata-kata mubazir dan kata jenuh, mehingga mengurangi efektivitas kalimat dan naskah berita secara keseluruhan.
Kelemahan-kelemahan itulah yang membuat pemberitaan media-media Islam diragukan sebagai karya jurnalistik.
Berita hanya menyampaikan fakta. Fakta itu suci (fact is sacre) yang tidak boleh diubah atau dimanipulasi. Sampaikan saja "apa adanya" setelah diseleksi bagian terpentingnya (gaya piramida terbalik).
Jika wartawan hendak beropini atau mencurahkan penilaian atas sebuah statemen, seperti atas pernyataan Kepala BNPT di atas, maka tulis saja ARTIKEL OPINI, sebuah karya jurnalistik yang memang berisi pendapat subjektif penulisnya tentang suatu masalah atau peristiwa.
Jika wartawan hendak menunjukkan kepiawannya dalam bermain kata-kata atau menggunakan kata-kata indah (colorful words), maka tulis saja FEATURE, sebuah karya jurnalistik yang bergaya penulisan sastra yang memang mengedepankan keindahan kata-kata.
Tentu, kelemahan media Islam di atas juga ada di "media sekuler". Banyak juga wartawan non-media Islam yang melanggar kaidah dan kode etik jurnalistik akibat minimnya skills & knowledge jurnalistik. Wasalam. (http://blogromeltea.blogspot.com).*
"Cari Simpati, Kepala BNPT Curhat". Demikian judul berita MuslimDaily.net. Isi berita berupa pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Saud Usman yang "merasa terzalimi" terkait pemblokiran situs Islam.
"Banyak orang termasuk pejabat dan umat Islam yang menyalahkan BNPT," katanya dalam diskusi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bertajuk ‘Kontroversi Penutupan Situs Radikal: Sensor Internet, Politis atau Perlindungan Publik?’ di Jakarta, Minggu (5/4/2015).
Tak ada satu pun kata simpati yang muncul di tubuh berita (body) yang dikutip dari detik.com itu. Hanya ada di judul. Demikian juga kata "curhat" tidak ada dalam statemen Kepala BNPT ataupun sumber lain.
"Cari Simpati" dan "Curhat", dengan demikian, adalah murni opini wartawan/editor yang "dicampurkan" dalam berita tersebut. Akibatnya, "nilai jurnalistik" dalam berita tersebut berkurang. Kode etik jurnalistik, terutama "tidak boleh mencampurkan fakta dan opini", dilanggar.
Berita di atas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik yang membuat berita tersebut keluar dari kriteria karya jurnalistik. Berita tersebut lebih merupakan "propaganda", setidaknya "dinodai" dengan opini, pendapat, atau interpretasi wartawan.
Keterampilan, pengetahuan, dan kode etik jurnalistik itulah yang menjadi salah satu kelemahan Media Islam Online saat ini. Mestinya, berita itu hanya menyampaikan fakta, tanpa ditambah opini yang bertujuan menggiring opini pembaca.
Wartawan media-media Islam online selama ini tampak "tidak bisa menahan diri" untuk beropini dalam menulis berita. Wartawan media Islam online juga tampak "tidak bisa mengendalikan emosinya" dalam menulis berita.
Hal itu berpengaruh pada kualitas berita secara jurnalistik. Bercampurnya fakta dan opini, bukan saja melanggar kode etik pemberitaan, namun juga menghasilkan berita yang "kurang enak" dibaca, terutama oleh mereka yang "ghirah keislamannya" kurang.
Perhatikan judul-judul berita yang disajikan beberapa media Islam berikut ini:
- Bentrok Umat Islam Sipil Palestina vs Tentara Teroris Kafir Zionis Pecah di Abu Sinan
- Korban Tewas dalam Bentrokan Antara Tentara Kafir Filipina dan Mujahidin Abu Sayyaf Naik Jadi 26.
- Mujahidin Al Qaeda Serbu Penjara dan Bebaskan 300 Tahanan
Mari kita ubah dan "rasakan" perbedaannya:
- Bentrok Umat Islam Sipil Palestina vs Tentara Zionis Pecah di Abu Sinan
- Korban Tewas dalam Bentrokan Antara Tentara Filipina dan Abu Sayyaf Naik Jadi 26.
- Al Qaeda Serbu Penjara dan Bebaskan 300 Tahanan
Judul-judul yang sudah diedit terasa "lebih netral" dan "lebih bernilai jurnalistik" ketimbang judul-judul sebelumnya.
Selain soal pencampuran fakta dan opini, wartawan media Islam online juga tampak lemah dalam penguasaan bahasa jurnalistik. Masih banyak didapatkan berita-berita yang berisi kata-kata mubazir dan kata jenuh, mehingga mengurangi efektivitas kalimat dan naskah berita secara keseluruhan.
Kelemahan-kelemahan itulah yang membuat pemberitaan media-media Islam diragukan sebagai karya jurnalistik.
Berita hanya menyampaikan fakta. Fakta itu suci (fact is sacre) yang tidak boleh diubah atau dimanipulasi. Sampaikan saja "apa adanya" setelah diseleksi bagian terpentingnya (gaya piramida terbalik).
Jika wartawan hendak beropini atau mencurahkan penilaian atas sebuah statemen, seperti atas pernyataan Kepala BNPT di atas, maka tulis saja ARTIKEL OPINI, sebuah karya jurnalistik yang memang berisi pendapat subjektif penulisnya tentang suatu masalah atau peristiwa.
Jika wartawan hendak menunjukkan kepiawannya dalam bermain kata-kata atau menggunakan kata-kata indah (colorful words), maka tulis saja FEATURE, sebuah karya jurnalistik yang bergaya penulisan sastra yang memang mengedepankan keindahan kata-kata.
Tentu, kelemahan media Islam di atas juga ada di "media sekuler". Banyak juga wartawan non-media Islam yang melanggar kaidah dan kode etik jurnalistik akibat minimnya skills & knowledge jurnalistik. Wasalam. (http://blogromeltea.blogspot.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Kelemahan Media Islam: Campurkan Fakta & Opini
Post a Comment
No Spam, Please!